Sabtu, Oktober 14, 2017

Makalah kearifan lokal Pelestarian Hutan Adat Hiang tinggi

PELESTARIAN LINGKUNGAN HUTAN ADAT NENEK LIMO HIANG TINGGI NENEK EMPAT BETUNG KUNING,
 KECAMATAN SITINJAU LAUT

Oleh:
Sudarmi
 211. 016. 015
A.  Pendahuluan
Melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak.
Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang nomor 4 tahun 1982,  tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup:  Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup.[1]
Begitu halnya di kelrinci, bahwa pelestarian hutan sangat perlu diperhatikan di berbagai pihak, karna ini merupakan hal penting  sekali, sebab pelestarian hutan mempengaruhi kenyamanan hidup khalyak. Seperti terjadinya bencana alam yang berasal dari rusaknya hutan yang di jamah secara tidak semena-mena oleh phak yang tidak bertanggung jawab, serta kebutuhan pertanian, kebersihan lingkungan, dan sebagainya.
Alam kerinci memiliki potensi sumber daya hutan yang sangat luar biasa. Sekitar 51 persen merupakan wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sementara 49 persen lainnya berupa danau, dan areal penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman. Areal yang bertutupan hutan tersebar di kawasan hutan negara dan hutan hak. Luas kawasan hutan negara berada di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sekitar 191.822 hektar. Sementara itu, Hutan Produksi Pola Partisipasi Masyarakat (HP3M) sebesar 25.666,34 hektar. Sedangkan kawasan hutan hak tersebar di 9 hutan adat seluas 1.202,81 hektar[2]
Relevansinya terhadap pendidikan karakter tentang peduli lingkungan sebagaimana permendiknas tentang peduli lingkungan: “Peduli lingkungan adalah: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.[3]
Dihiang tinggi dan betung kuning mempunyai sebuah hutan adat yang akui secara nasional serta telah dikelola sejak nenek moyang mereka dahulu hingga sekarang. Hutan itu bernama hutan adat “nenek limo hiang tinggi, nenek empat desa betung kuning hiang, kecamatan sitinjau laut.
Penegelolaan lingkungan (hutan adat) berbasis budaya masyarakat/ kearifan local, di hiang telah menjadi sebuah aturan yang dianggap sangat penting demi kelangsungan ekonomi serta kenyaman hudup bermasyarakat.
Untuk itu dalam makalah yang sangat sederhana ini kami akan memaparkan tentang “ Pelestarian dan Pengelolaan Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning, Berbasis Adat Dan Kearifan Lokal.
B.  Pembahasan
1.   Pengertian Hutan Adat serta Dasar Hukum
Hutan dalam kamus bahasa Indonesia Online[4], berarti: tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohon (biasanya tidak dipelihara orang), atau  alam hutan yang terjadi secara alami tanpa campur tangan manusia, memiliki berbagai jenis pohon campuran dan dari segala umur. Sedangkan adat berati “aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala atau cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan; kebiasaan, atau wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem[5].
Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pengertian hutan adat merujuk pada status kawasan hutan.
Jadi hutan adat merupakan lingkup alam yang tumbuhnya secara alamiah dan dijaga oleh daerah adat(lembaga adat) untuk kepentingan kemaslahatan ummat.
Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan status hutan di Indonesia terbagi dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara mengacu pada kawasan hutan yang berada di atas tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (tidak dimiliki seseorang atau badan hukum). Sedangkan hutan hak mengacu pada kawasan hutan yang berada di atas tanah yang dibebani hak atas tanah. Dalam ketentuan ini, otomatis hutan adat dikategorikan sebagai hutan negara.
Namun pada tahun 2012 Mahkamah Konstitusi memenangkan gugatan judicial review terhadap undang-undang kehutanan yang termaktub dalam putusan Nomor 35/PUU-X/2012. Mahkamah menganggap ketentuan hutan adat dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi. Kemudian statusnya dikukuhkan sebagai milik masyarakat adat, bukan hutan negara.
Sebagaimana yang dikuti oleh  Afan, tentang pernyataan jokowi tentang pengukuhan hutan adat 2016:  “Pengakuan hutan adat bukan hanya berarti kita sedang mengakui hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang dilindungi oleh UUD 45, pengakuan hutan adat, pengakuan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat berarti adalah pengakuan nilai-nilai asli Indonesia, pengakuan jati diri asli bangsa Indonesia," imbuh Jokowi di Istana Negara (30/12/2016).[6]

2.   Hutan Adat Nenek Limo Desa Hiang Tinggi

Hutan Adat Nenek 5 Hiang Tinggi dan Nenek 4 Betung Kuning ini teletak di wilayah perhutanan sebelah timur desa hiang Hiang Tinggi. Kecamatan sitinjau laut, Wilayahnya berbukit, serta hutannya sangat lebat yang masih terjaga ke asriannya, hutan adat ini telah ada sejak nenek moyang mereka, yang menurut sejarahnya desa hiang tinggi merupakan daerah tertua serta asal dari kerinci.
Luas hutan adat tersbut yakni 858,95 hektar. Hutan adat Hiang yang berbatasan langsung dengan TNKS, menjadikan hutan adat ini sebagai salah satu daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, dan menjadi salah satu mitra Balai TNKS guna menjaga dan mengawasi kawasan TNKS
Pelestarian Hutan Adat Hiang ini merupakan salah bentuk kepatuhan masyarakat untuk menjaga/melestarikan peninggalan adat istiadat warisan leluhur nenek moyang Hiang sebagai salah satu bentuk kearifan tradisional mereka, sekaligus kepedulian masyarakat Hiang terhadap keberlanjutan generasi penerus mereka
Keberadaan hutan adat Nenek 5 Hiang Tinggi dan Nenek 4 Betung Kuning Ini telah di dukung dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Bupati Kerinci Nomor 226 Tahun 1993 tanggal 7 Desember 1993, tentang "Pengukuhan Pengelolaan Ruang Hutan Adat Desa Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning Muara Air Dua, Kecamatan Sitinjau Laut".
Hutan adat Hiang, sebelumnya dikelola oleh Lembaga Adat Nenek Limo dan Lembaga Adat Nenek Empat. Lembaga Adat Nenek Limo diketuai oleh Depati Atur Bumi, yang membawahi masyarakat di Desa Hiang Tinggi clan Desa Hiang Karya. Sedangkan Lembaga Adat Nenek Empat diketuai oleh Rajo Depati, yang membawahi masyarakat di Desa Betung Kuning dan Desa Muara Air Dua. Saat ini, untuk pengelolaan hutan adat, masyarakat Adat Hiang telah membentuk Lembaga Perwalian Masyarakat Kelompok Kerja Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi, Nenek Empat Betung Kuning dan Muara Air Dua, yang terdiri dari tokoh-tokoh adat dan pemuka masyarakat Hiang.
Sebagaimana yang disampaikan oleh pencinta alam dan adat dari desa hiang itnggi yakni Rudini mengatakan:
Lembaga Pengelola Hutan Adat ini bertugas untuk mengatur segala sesuatunya tentang pengelolaan clan pelestarian kawasan hutan adat, berdasarkan ketentuanketentuan adat yang ada. Sedangkan untuk mengawasi dan menjaga hutan adat ini sehari-hari, lembaga menunjuk seorang Petinggi (sama dengan jagawana hutan adat) yang dibantu oleh 18 pegawai, yang ditunjuk melalui rapat adat. ySetiap bulan, masyarakat mengadakan pengajian adat (rapat adat) yang membahas permasalahanpermasalahan adat, hutan adat clan TNKS, illegal logging, serta masalah kemasyarakatan lainnya. Demi kelangsungan -pengelolaan kawasan hutan adat di masa mendatang, tokoh clan pemuka masyarakat, mempunyai program untuk pemberdayaan sumber daya manusia (khususnya kaum wanita), sistem perladangan tumpang sari dan program Karang Citren. Program Karang Citren merupakan kombinasi pertanian, peternakan dan perikanan yang diterapkan pada ladang-ladang masyarakat, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih optimal. Lembaga adat juga menetapkan aturan pembangunan rumah, yaitu arah rumah, lorong/gang/jalan sekitar rumah, dan halaman 4 meter. Hasil yang dicapai dari pengelolaan hutan melalui aturan-aturan adat, memberi keyakinan pada masyarakat Hiang, bahwa kawasan hutan adat Hiang dan TNKS mempunyai fungsi utama sebagai daerah resapan air, sumber air besih, sumber pengairan sawah dan ladang, serta perlindungan bagi flora-fauna yang ada di dalamnya[7]”.

Sama halnya dengan hutan adat lainnya, hutan adat di Hiang memiliki aturan adat. Ketua Lembaga Adat Nenek Limo Desa Hiang Tinggi, Basri Dayah (Depati Atur Bumi) mengatakan[8]:
“sejak dahulu hingga sekarang masyarakat dibawah kekuasaan adat sangat patuh terhadap peraturan adat, dan mereka takut melanggar peratuan adat, termasuk dalam pelestarian hutan adat, karena mereka menyadari bahwa peraturan adat itu mengatur tentang pelestarian hutan adat yang merupakan sumber energi dalam pertanian serta kebutuhan masyarakat lainnya, dan juga dapat mempertahankan keasrian lingkungan yang mereka jaga sejak nenek moyang mereka sejak dahulu kala.,” paparnya.

Dengan pernyataan diatas dapat penulis mengambil sebuah intisari bahwa hutan adat menurut mereka ialah sumber kehidupan yang diwarisi sejak nenek moyang mereka. Walaupun mereka di batasi oleh hokum adat namun pada dasarnya mereka menyadari bahwa hutan adat merupakan hutan yang harus dijaga secara bersama dan bertanggungjawab terhadapnya, untuk kelangsungan hidup sampai generasi seterusnya.
Namun peraturan atau hukum adat tentang hutan adat perlu dijaga eksistensinya yang menajdikan batasan serta pemahaman terhadat hutan adat itu sendiri. Sebagaimana disebutkan oleh datuk Nazaruddin said, BA, (MAntan Depati atur bumi) menyatakan:
Jika ada warga yang melanggar peraturan hutan adat, warga tersebut akan segera diberi sanksi berupa denda yang diberikan berdasarkan berapa banyak hasil hutan yang diambil. Jika yang diambil dari dalam hutan kayu berukuran kecil dan jumlahnya sedikit, denda yang diberikan adalah nasi sepiring dan ayam seekor. Lalu, jika lebih besar lagi yang diambil, misalnya mengambil kayu untuk membuat rumah sendiri, sanksi yang diberikan adalah beras sebanyak 20 kaleng (ukuran 20 liter, Ed) dan kambing seekor. Jika pelanggaran berat, misalnya mencuri dan menjual pohon besar, sanksinya adalah kerbau seekor dan beras sebanyak 100 kaleng.[9]

Salah satu bentuk sanksi diatas yang datur didalam adat bukanlah merupakan sebuah ancaman saja bagi masyarakat, tetapi lebih dari itu merupakan memberikan pemahan terhadap masyarakat tentang pentingnya menjaga alam yang terkembang tersebut.
Ada beberapa pengecualian dalam mengambil hasil hutan adat tersebut, yakni jika kebutuhan umum, seperti tempat ibadah, tempat musawarah desa, rumah adat ataupun tempat pusat olah raga seperti pembangunan Hall atau lapangan oleh raga bagi pemuda, itu diperbolehkn untuk mengambil kebutuhan bangunan seperti penebangan pohon dalam hutan untuk dijadikan bahan bangunan tersebut, serta untuk kepentingan pelestarian adat itu sendiri, seperti pencak silat desa hiang tinggi mereka mengambil rotan dihutan untuk dijadikan pedang latihan silat. Namuan semua itu mereka harus meminta izin langsung dengan ketua pengelolaan hutan adat dalam hal ini melalui ketua lembaga adat langsung, baik depati atur bumi atau pun depati Marajo di betung kuning.
Candra Purnama, Kepala Lembaga Adat Nenek empat betung kuning juga menekankan bahwa:  selama ini sangat mengapresiasi warga yang sudah bersama-sama membantu terjaganya hutan adat. “Pemerintah pun saya harapkan bisa memberi perhatian pada warga yang sudah ikut melestarikan alam ini”[10]
Ditetapkannya SK Bupati Kerinci pada hutan adat tersebut adalah untuk mempertegas fungsi hutan adat sebagai kawasan penyangga (buffer zone) dan memperjelas batas-batas hutan adat dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik antara masyarakat adat dan TNKS.

Mereka (masrakat adat), sangat bersahabat dengan alam, menjaga hutan serta melestarikan hutan bukanlah mereka anggap beban karena dengan menjaga hutan, mereka masih bisa hidup bahagia. Pelajaran paling penting bagi kita —masyarakat kota yang mungkin sudah terlena dengan fasilitas mewah— yang masih banyak mengeluh. Cobalah sesekali lihatlah mereka yang bersahabat dengan alam. Mereka hidup berkecukupan dan bahagia. Alam memang sudah seharusnya dijadikan sahabat, bukan untuk di-eksploitasi.
Dengan keasadaran masrakat tersebut serta jasa para pamangku adat (lembaga adat hutan), mereka masih merasakan keasrian hutan tersebut, alliran sungainya masih jenih, dan dapat mengairi sawah-sawah mereka, dengan sungai tersebut dapat mengairi lebih kurang 6 kecamatan di kerinci dan satu kecamatan di kota sungai penuh.
Keberhasilan masyarakat Hiang dalam mengelola hutan adat, menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk mengelola dan melestarikan daerah dataran tinggi mereka dengan menerapkan hutan adat untuk dikelola secara adat berdasarkan kearifan-kearifan tradisional peninggalan nenek moyang mereka. Kesadaran masyarakat Hiang untuk menjaga clan melestarikan hutan adat mereka, menyebabkan terjaminnya ketersediaan air bagi kebutuhan hidup sehari-hari clan pertaniaan. Hutan adat merupakan daerah tangkap air bagi 5 (lima) sungai di daerah ini, yaitu sungai Pulai, Sungi Maliki, Sungai Malaka, Sungai Tanaka, dan Sungai Nyuruk.
Terjaminnya ketersedian air di daerah aliran sungai (DAS) ini, menyebabkan 3 (tiga) irigasinya, yaitu Irigasi Tanaka, Irigasi Batang Sangkir clan Irigasi Betung Kuning, tetap dapat mengairi sawah-sawah masyakat sepanjang tahun. Luas areal sawah yang diairi oleh irigasi-irigasi tersebut adalah 7.000 hektar, yang mencakup 5 (lima) kecamatan, yaitu Kecamatan Sitinjau Laut, Kecamatan Sungai Penuh, Kecamatan Danau Kerinci, Kecamatan Keliling Danau, dan Kecamatan Air Hangat Timur. Kondisi ini dapat dilihat dari panen padi 5 (lima) kali dalam dua tahun, dengan rata-rata produksi 5,3 ton per hektar, dengan potensi NPV (Net Present Value)-nya mampu menghasilkan nilai rupiah mencapai kurang lebih Rp55 miliar per tahun.
Kesuksesan produksi padi diperoleh karena daerah ini tidak pernah mengalami gagal panen. Daerah ini terhindar dari banjir dan longsor pada musim hujan, serta terhidar dari kekeringan pada waktu musim kemarau, karena kawasan hutannya berfungsi baik bank pohon bagi air.
Dari kondisi produksi padi hasil pertanian ladang yang stabil, menyebabkan perekonomian masyarakat lebih terjamin. Kondisi ini menyebabkan masyarakat semakin sadar untuk menjaga keberlangsungan hutan, dan tidak melakukan kegiatan perambahan clan perusakan hutan. Masyarakat juga menyadari bahwa dalam kawasan hutan adat terdapat lebih kurang 100 jenis flora dan fauna, sehingga hutan dapat juga dijadikan sebagai laboratorium pusat pendidikan dan penelitian. Misalnya pengembangan tanaman obat dan pelestarian flora-fauna langka dan endemik, seperti penelitian dan studi banding yang telah dilakukan kelompok masyarakat/LSM/ perguruan tinggi dari Medan, Bengkulu, Jambi, UGM, Belanda dan Selandia Baru, dan lainnya.
Pada tahun 2010 hutan adat hiang ini mendapat peghargaan kalpataru yang di berikan langsung oleh Presiden saat itu bapak Susilo Bambang Yudoyono disitana Negara.

3.      Analisis Nilai-nilai karakter dalam Pelestraian Hutan Adat Nenek limo hiang tinggi nenek empat betung kuning kecamatan sitinjau laut.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama tentang penyataan di dalam permendiknas tentang 18 poin pendidikan karakter tersebut, merupakan sebuah acuan serta pemembngan terhadap nilai-karakter itu sendiri.
Sejauh  observasi serta wawancara langsung dengan tokoh masyarakat dihiang tentang hutan adat yang telah kami paparkan diatas, merupakan pelajaran yang sangat penting untuk diangkat kepermukaan diranah pendidikan karakter pada masa sekarang, yang sangat menarik bahwa tingkat kesadaran masyarakat terhadap konservasi hutan serta kepedulian mereka terhadap lingkungan mereka sepakati bersama dengan mengacu kepada peraturan serta hokum adat yang telah bertahan sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka sangat bersahabat dengan alam, mereka menjaga melestarikan dengan rasa tanggung jawab serta kecintaan terhadap alam.
Pendidikan karakter itu sendiri yang tumbuh dari berbagai sumber, serta berbagai proses pembiasaan yang terusmenerus dilakukan. Slah satu nilai nilai karakter yang sangat menonjol  ialah karakter peduli lingungan, serta cinta tanah air. Baiklah kami akan mencoba menarik relevansinya pengelolaan hutan adat dengan pendidikan karakter dalam bentuk table agar mudah kita pahami, sebagai berikut.
NO.
Bentuk Partisipasi masyarakat dan Adat tentang hutan adat hiang
Nilai karakter yang terkandung.[11]
Keterangan
1
Mematuhi aturan adat serta aturan hukum nasional tentang hutan adat.
Disiplin:
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan

Semangat kebangsaan:
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

Masyarakat
2.
Menjaga Serta  Melestarikan Hutan Adat
Peduli Lingkungan:
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

Cinta Tanah Air:
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa
Masyarakat Lemabaga adat
3
Aturan adat telah mengakar sejak lama serta konsisten menjalankan, sehingga menimbulkan kesadaran serta tanpa paksaan.
Peduli Sosial:
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
Demokratis:
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

4
Dan sebagainya



Pernyataan diatas bukanlah pernyataan yang baku yang penulis mencoba menelaahnya, masih banyak lagi yang lain mungkin dapat menambah kazanah kita tentang pendidikan karakter, namun yang terpenting ialah dengan kearifan local yang unik dimiliki masyarakat kerinci pada umunya, khususnya masrakat hiang tentang pelestarian hutan adat tersebut, menjadikan kita bahkan masyarakat luar mencontohi tentang menjaga serta melestarikan hutan adat tersebut. Sebab pendidikan karakter yang kita kenal sekarang pada dasarnya di masyarakat tradisonal sudah melekat semenjak ribuan tahun yang lalu, yang perlu kita jaga dan munculkan kepermukaan tentang kearifan lokal tersebut.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Quranl Karim
Mustika, Dodi, 2017, Hutan Adat Alam Kerinci http://kerinciinspirasi.blogspot.co.id/2016/02/hutan-adat-alam-kerinci.html.

Salahhudin, Anas dan Irwanto, 2013, Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya Bangsa,(Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 98

KBBI Online, https://kbbi.web.id/hutan,  Diakses tanggal: 29 September 2017.

Afan, Lingkungan Hidup, http://afand.abatasa.com/post/detail/2405/linkungan-hidup-kerusakan-lingkungan-pengertian-kerusakan-lingkungan-dan-pelestarian.

Rudini, Tokoh Masrakat, Wawancara, Tanggal 26 September 2017.
Basri Dayah, Tokoh Adat, Wawancara,  Tanggal 26 September 2017.
Nazaruddin Said, Tokoh Adat, Wawancara, Tanggal 27 September 2017
Candra Purnama, Tokoh Adat,  Wawancara, Tanggal 28 September 2017

Pemerintah Republik Indonesia, 2010, Kebijakan Nasional Pembangunan Karater Bangsa, Tahun 2015-2025, Jakarta.

Tim Kreatif LKM UNJ, 2011, Restorasi Pendidikan Indonesia; Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
















DAFTAR ISI
A.    Pendahulua
1.      Latar Belakang Masalah.................................................................1
2.      Rumusan Masalah..........................................................................2
3.      Batasan Masalah............................................................................2
B.     Pembahasan
1.      Kebijakan Pendidikan Karakter Zaman Belanda...........................3
2.      Kebijakan Pendidikan karakter Zaman Jepang..............................3
3.      Kebijakan Pendidikan karakter Zaman Kemerdekaan.................11
a.       UU No 4 tahun 1950...............................................................11
b.      UU No 12 Tahun 1954.......................................................... 12
c.       UU No 2tahun 1989................................................................13
d.      UU Sisdiknas no 20 Tahun 2003 ...........................................15
C.     Kesimpulan
D.    Daftar Bacaan



[1] Undang-undang RI, tentang Pasal 1 ayat 6,Hutan Adat.
[2] Dodi Mustika, Hutan Adat Alam Kerinci http://kerinciinspirasi.blogspot.co.id/2016/02/
hutan-adat-alam-kerinci.html , (Dikases Tanggal: 29 September 2017).
[3]  Anas Salahhudin dan Irwanto, Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya Bangsa,(Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 98
[4] KBBI Online, https://kbbi.web.id/hutan,  Diakses tanggal: 29 September 2017.
[5] Ibid.
[6] Afan, Lingkungan Hidup, http://afand.abatasa.com/post/detail/2405/linkungan-hidup-kerusakan-lingkungan-pengertian-kerusakan-lingkungan-dan-pelestarian. (diakses Tanggal: 30 September 2017.

[8]Basri Dayah, Tokoh Adat, Wawancara,  Tanggal 26 September 2017.
[9] Nazaruddin Said, Wawancara, Tanggal 27 September 2017
[10] Candra Purnama, Wawancara, Tanggal 28 September 2017
[11] Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional Pembangunan Karater Bangsa, Tahun 2015-2025, ( Jakarta : t.p, 2010), h. 7

Tidak ada komentar: