PELESTARIAN
LINGKUNGAN HUTAN
ADAT NENEK LIMO HIANG TINGGI NENEK EMPAT BETUNG KUNING,
KECAMATAN SITINJAU LAUT
Oleh:
Sudarmi
211. 016. 015
A. Pendahuluan
Melestarikan
lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan bukan
hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan
tanggung jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai manula. Setiap orang
harus melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita
sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sekecil apa pun usaha yang kita
lakukan sangat besar manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi
generasi anak cucu kita kelak.
Sebagaimana
disebutkan dalam undang-undang nomor 4 tahun 1982, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup: Pengelolaan lingkungan hidup
adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan,
pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup.[1]
Begitu halnya di kelrinci, bahwa pelestarian hutan sangat
perlu diperhatikan di berbagai pihak, karna ini merupakan hal penting sekali, sebab pelestarian hutan mempengaruhi
kenyamanan hidup khalyak. Seperti terjadinya bencana alam yang berasal dari
rusaknya hutan yang di jamah secara tidak semena-mena oleh phak yang tidak
bertanggung jawab, serta kebutuhan pertanian, kebersihan lingkungan, dan
sebagainya.
Alam kerinci memiliki potensi sumber daya hutan yang sangat
luar biasa. Sekitar 51 persen merupakan wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat
(TNKS). Sementara 49 persen lainnya berupa danau, dan areal penggunaan lain
seperti pertanian, perkebunan, pemukiman. Areal yang bertutupan hutan tersebar
di kawasan hutan negara dan hutan hak. Luas kawasan hutan negara berada di
kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sekitar 191.822 hektar. Sementara
itu, Hutan Produksi Pola Partisipasi Masyarakat (HP3M) sebesar 25.666,34 hektar.
Sedangkan kawasan hutan hak tersebar di 9 hutan adat seluas 1.202,81 hektar[2]
Relevansinya terhadap pendidikan karakter tentang peduli lingkungan
sebagaimana permendiknas tentang peduli lingkungan: “Peduli lingkungan
adalah: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan
alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan
alam yang sudah terjadi”.[3]
Dihiang tinggi dan betung kuning mempunyai sebuah hutan adat yang akui
secara nasional serta telah dikelola sejak nenek moyang mereka dahulu hingga
sekarang. Hutan itu bernama hutan adat “nenek limo hiang tinggi, nenek empat
desa betung kuning hiang, kecamatan sitinjau laut.
Penegelolaan lingkungan (hutan adat) berbasis budaya masyarakat/ kearifan
local, di hiang telah menjadi sebuah aturan yang dianggap sangat penting demi
kelangsungan ekonomi serta kenyaman hudup bermasyarakat.
Untuk itu dalam makalah
yang sangat sederhana ini kami akan memaparkan tentang “ Pelestarian dan Pengelolaan Hutan Adat Nenek
Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning, Berbasis Adat Dan Kearifan Lokal”.
B. Pembahasan
1. Pengertian Hutan Adat serta Dasar Hukum
Hutan dalam
kamus bahasa Indonesia Online[4],
berarti: tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohon (biasanya tidak dipelihara
orang), atau alam hutan yang
terjadi secara alami tanpa campur tangan manusia, memiliki berbagai jenis pohon
campuran dan dari segala umur. Sedangkan adat berati “aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan
sejak dahulu kala atau cara
(kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan; kebiasaan, atau wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas
nilai-nilai
budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan
lainnya berkaitan menjadi suatu sistem[5].
Hutan
adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pengertian
hutan adat merujuk pada status kawasan hutan.
Jadi hutan adat merupakan lingkup alam yang tumbuhnya secara
alamiah dan dijaga oleh daerah adat(lembaga adat) untuk kepentingan
kemaslahatan ummat.
Undang-undang
No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan status hutan di
Indonesia terbagi dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara mengacu
pada kawasan hutan yang berada di atas tanah yang tidak dibebani hak atas
tanah (tidak dimiliki seseorang atau badan hukum). Sedangkan hutan
hak mengacu pada kawasan hutan yang berada di atas tanah yang dibebani hak atas
tanah. Dalam ketentuan ini, otomatis hutan adat dikategorikan sebagai
hutan negara.
Namun pada tahun
2012 Mahkamah Konstitusi memenangkan gugatan judicial review terhadap
undang-undang kehutanan yang termaktub dalam putusan Nomor 35/PUU-X/2012. Mahkamah
menganggap ketentuan hutan adat dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Kemudian statusnya dikukuhkan sebagai milik masyarakat adat, bukan hutan
negara.
Sebagaimana
yang dikuti oleh Afan, tentang
pernyataan jokowi tentang pengukuhan hutan adat 2016: “Pengakuan hutan adat bukan hanya berarti kita sedang mengakui hak-hak
tradisional masyarakat hukum adat yang dilindungi oleh UUD 45, pengakuan hutan
adat, pengakuan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat berarti adalah
pengakuan nilai-nilai asli Indonesia, pengakuan jati diri asli bangsa
Indonesia," imbuh Jokowi di Istana Negara (30/12/2016).[6]
2. Hutan Adat Nenek Limo Desa Hiang Tinggi
Hutan Adat Nenek 5 Hiang Tinggi dan Nenek 4 Betung Kuning ini teletak
di wilayah perhutanan sebelah timur desa hiang Hiang Tinggi. Kecamatan sitinjau
laut, Wilayahnya berbukit, serta hutannya sangat lebat yang masih terjaga ke
asriannya, hutan adat ini telah ada sejak nenek moyang mereka, yang menurut
sejarahnya desa hiang tinggi merupakan daerah tertua serta asal dari kerinci.
Luas hutan adat tersbut yakni 858,95
hektar. Hutan adat Hiang yang berbatasan langsung dengan TNKS, menjadikan hutan
adat ini sebagai salah satu daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, dan
menjadi salah satu mitra Balai TNKS guna menjaga dan mengawasi kawasan TNKS
Pelestarian
Hutan Adat Hiang ini merupakan salah bentuk kepatuhan masyarakat untuk
menjaga/melestarikan peninggalan adat istiadat warisan leluhur nenek moyang
Hiang sebagai salah satu bentuk kearifan tradisional mereka, sekaligus
kepedulian masyarakat Hiang terhadap keberlanjutan generasi penerus mereka
Keberadaan
hutan adat Nenek 5 Hiang Tinggi dan Nenek 4 Betung Kuning Ini telah di dukung
dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Bupati Kerinci Nomor 226 Tahun 1993
tanggal 7 Desember 1993, tentang "Pengukuhan Pengelolaan
Ruang Hutan Adat Desa Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning Muara
Air Dua, Kecamatan Sitinjau Laut".
Hutan
adat Hiang, sebelumnya dikelola oleh Lembaga Adat Nenek Limo dan Lembaga Adat
Nenek Empat. Lembaga Adat Nenek Limo diketuai oleh Depati Atur Bumi, yang
membawahi masyarakat di Desa Hiang Tinggi clan Desa Hiang Karya. Sedangkan
Lembaga Adat Nenek Empat diketuai oleh Rajo Depati, yang membawahi masyarakat
di Desa Betung Kuning dan Desa Muara Air Dua. Saat ini, untuk pengelolaan hutan
adat, masyarakat Adat Hiang telah membentuk Lembaga Perwalian Masyarakat
Kelompok Kerja Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi, Nenek Empat Betung Kuning
dan Muara Air Dua, yang terdiri dari tokoh-tokoh adat dan pemuka masyarakat
Hiang.
Sebagaimana yang disampaikan oleh pencinta alam dan
adat dari desa hiang itnggi yakni Rudini mengatakan:
”Lembaga Pengelola Hutan Adat ini bertugas untuk mengatur
segala sesuatunya tentang pengelolaan clan pelestarian kawasan hutan adat,
berdasarkan ketentuanketentuan adat yang ada. Sedangkan untuk mengawasi dan
menjaga hutan adat ini sehari-hari, lembaga menunjuk seorang Petinggi (sama
dengan jagawana hutan adat) yang dibantu oleh 18 pegawai, yang ditunjuk melalui
rapat adat. ySetiap bulan, masyarakat mengadakan pengajian adat (rapat adat)
yang membahas permasalahanpermasalahan adat, hutan adat clan TNKS, illegal
logging, serta masalah kemasyarakatan lainnya. Demi kelangsungan -pengelolaan
kawasan hutan adat di masa mendatang, tokoh clan pemuka masyarakat, mempunyai
program untuk pemberdayaan sumber daya manusia (khususnya kaum wanita), sistem
perladangan tumpang sari dan program Karang Citren. Program Karang Citren merupakan
kombinasi pertanian, peternakan dan perikanan yang diterapkan pada
ladang-ladang masyarakat, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih optimal.
Lembaga adat juga menetapkan aturan pembangunan rumah, yaitu arah rumah,
lorong/gang/jalan sekitar rumah, dan halaman 4 meter. Hasil yang dicapai dari
pengelolaan hutan melalui aturan-aturan adat, memberi keyakinan pada masyarakat
Hiang, bahwa kawasan hutan adat Hiang dan TNKS mempunyai fungsi utama sebagai
daerah resapan air, sumber air besih, sumber pengairan sawah dan ladang, serta
perlindungan bagi flora-fauna yang ada di dalamnya[7]”.
Sama halnya
dengan hutan adat lainnya, hutan adat di Hiang memiliki aturan adat. Ketua
Lembaga Adat Nenek
Limo Desa Hiang Tinggi, Basri Dayah (Depati Atur
Bumi) mengatakan[8]:
“sejak dahulu hingga sekarang masyarakat dibawah
kekuasaan adat sangat patuh terhadap peraturan adat, dan mereka takut melanggar
peratuan adat, termasuk dalam pelestarian hutan adat, karena mereka menyadari
bahwa peraturan adat itu mengatur tentang pelestarian hutan adat yang merupakan
sumber energi dalam pertanian serta kebutuhan masyarakat lainnya, dan juga
dapat mempertahankan keasrian lingkungan yang mereka jaga sejak nenek moyang
mereka sejak dahulu kala.,” paparnya.
Dengan
pernyataan diatas dapat penulis mengambil sebuah intisari bahwa hutan adat
menurut mereka ialah sumber kehidupan yang diwarisi sejak nenek moyang mereka.
Walaupun mereka di batasi oleh hokum adat namun pada dasarnya mereka menyadari
bahwa hutan adat merupakan hutan yang harus dijaga secara bersama dan
bertanggungjawab terhadapnya, untuk kelangsungan hidup sampai generasi
seterusnya.
Namun
peraturan atau hukum adat tentang hutan adat perlu dijaga eksistensinya yang
menajdikan batasan serta pemahaman terhadat hutan adat itu sendiri. Sebagaimana
disebutkan oleh datuk Nazaruddin said, BA, (MAntan Depati atur bumi)
menyatakan:
Jika
ada warga yang melanggar peraturan hutan adat, warga tersebut akan segera
diberi sanksi berupa denda yang diberikan berdasarkan berapa banyak hasil hutan
yang diambil. Jika yang diambil dari dalam hutan kayu berukuran kecil dan
jumlahnya sedikit, denda yang diberikan adalah nasi sepiring dan ayam seekor.
Lalu, jika lebih besar lagi yang diambil, misalnya mengambil kayu untuk membuat
rumah sendiri, sanksi yang diberikan adalah beras sebanyak 20 kaleng (ukuran 20 liter, Ed) dan
kambing seekor. Jika pelanggaran berat, misalnya mencuri dan menjual pohon
besar, sanksinya adalah kerbau seekor dan beras sebanyak 100 kaleng.[9]
Salah
satu bentuk sanksi diatas yang datur didalam adat bukanlah merupakan sebuah
ancaman saja bagi masyarakat, tetapi lebih dari itu merupakan memberikan
pemahan terhadap masyarakat tentang pentingnya menjaga alam yang terkembang
tersebut.
Ada
beberapa pengecualian dalam mengambil hasil hutan adat tersebut, yakni jika
kebutuhan umum, seperti tempat ibadah, tempat musawarah desa, rumah adat
ataupun tempat pusat olah raga seperti pembangunan Hall atau lapangan oleh raga
bagi pemuda, itu diperbolehkn untuk mengambil kebutuhan bangunan seperti
penebangan pohon dalam hutan untuk dijadikan bahan bangunan tersebut, serta
untuk kepentingan pelestarian adat itu sendiri, seperti pencak silat desa hiang
tinggi mereka mengambil rotan dihutan untuk dijadikan pedang latihan silat.
Namuan semua itu mereka harus meminta izin langsung dengan ketua pengelolaan
hutan adat dalam hal ini melalui ketua lembaga adat langsung, baik depati atur
bumi atau pun depati Marajo di betung kuning.
Candra Purnama,
Kepala Lembaga Adat Nenek empat betung kuning juga menekankan bahwa: selama ini
sangat mengapresiasi warga yang sudah bersama-sama membantu terjaganya hutan
adat. “Pemerintah pun saya harapkan bisa memberi perhatian pada warga yang
sudah ikut melestarikan alam ini”[10]
Ditetapkannya SK
Bupati Kerinci pada hutan adat tersebut adalah untuk mempertegas fungsi hutan
adat sebagai kawasan penyangga (buffer zone) dan memperjelas batas-batas
hutan adat dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Hal ini untuk
menghindari terjadinya konflik antara masyarakat adat dan TNKS.
Mereka
(masrakat adat), sangat bersahabat dengan alam, menjaga hutan serta
melestarikan hutan bukanlah mereka anggap
beban karena dengan menjaga hutan, mereka masih bisa hidup bahagia. Pelajaran
paling penting bagi kita —masyarakat kota yang mungkin sudah terlena dengan
fasilitas mewah— yang masih banyak mengeluh. Cobalah sesekali lihatlah mereka yang bersahabat dengan alam. Mereka hidup
berkecukupan dan bahagia. Alam memang sudah seharusnya dijadikan sahabat, bukan
untuk di-eksploitasi.
Dengan
keasadaran masrakat tersebut serta jasa para pamangku adat (lembaga adat
hutan), mereka masih merasakan keasrian hutan tersebut, alliran sungainya masih
jenih, dan dapat mengairi sawah-sawah mereka, dengan sungai tersebut dapat
mengairi lebih kurang 6 kecamatan di kerinci dan satu kecamatan di kota sungai
penuh.
Keberhasilan
masyarakat Hiang dalam mengelola hutan adat, menjadi inspirasi bagi daerah lain
untuk mengelola dan melestarikan daerah dataran tinggi mereka dengan menerapkan
hutan adat untuk dikelola secara adat berdasarkan kearifan-kearifan tradisional
peninggalan nenek moyang mereka. Kesadaran masyarakat Hiang untuk menjaga clan
melestarikan hutan adat mereka, menyebabkan terjaminnya ketersediaan air bagi
kebutuhan hidup sehari-hari clan pertaniaan. Hutan adat merupakan daerah
tangkap air bagi 5 (lima) sungai di daerah ini, yaitu sungai Pulai, Sungi
Maliki, Sungai Malaka, Sungai Tanaka, dan Sungai Nyuruk.
Terjaminnya
ketersedian air di daerah aliran sungai (DAS) ini, menyebabkan 3 (tiga)
irigasinya, yaitu Irigasi Tanaka, Irigasi Batang Sangkir clan Irigasi Betung
Kuning, tetap dapat mengairi sawah-sawah masyakat sepanjang tahun. Luas areal
sawah yang diairi oleh irigasi-irigasi tersebut adalah 7.000 hektar, yang
mencakup 5 (lima) kecamatan, yaitu Kecamatan Sitinjau Laut, Kecamatan Sungai
Penuh, Kecamatan Danau Kerinci, Kecamatan Keliling Danau, dan Kecamatan Air
Hangat Timur. Kondisi ini dapat dilihat dari panen padi 5 (lima) kali dalam dua
tahun, dengan rata-rata produksi 5,3 ton per hektar, dengan potensi NPV (Net
Present Value)-nya mampu menghasilkan nilai rupiah mencapai kurang lebih Rp55
miliar per tahun.
Kesuksesan
produksi padi diperoleh karena daerah ini tidak pernah mengalami gagal panen. Daerah ini terhindar dari banjir dan longsor
pada musim hujan, serta terhidar dari kekeringan pada waktu musim kemarau,
karena kawasan hutannya berfungsi baik bank pohon bagi air.
Dari
kondisi produksi padi hasil pertanian ladang yang stabil, menyebabkan
perekonomian masyarakat lebih terjamin. Kondisi ini menyebabkan masyarakat
semakin sadar untuk menjaga keberlangsungan hutan, dan tidak melakukan kegiatan
perambahan clan perusakan hutan. Masyarakat juga menyadari bahwa dalam kawasan
hutan adat terdapat lebih kurang 100 jenis flora dan fauna, sehingga hutan
dapat juga dijadikan sebagai laboratorium pusat pendidikan dan penelitian.
Misalnya pengembangan tanaman obat dan pelestarian flora-fauna langka dan
endemik, seperti penelitian dan studi banding yang telah dilakukan kelompok
masyarakat/LSM/ perguruan tinggi dari Medan, Bengkulu, Jambi, UGM, Belanda dan
Selandia Baru, dan lainnya.
Pada tahun 2010 hutan adat hiang ini mendapat
peghargaan kalpataru yang di berikan langsung oleh Presiden saat itu bapak
Susilo Bambang Yudoyono disitana Negara.
3. Analisis Nilai-nilai karakter dalam Pelestraian Hutan Adat Nenek limo
hiang tinggi nenek empat betung kuning kecamatan sitinjau laut.
Sebagaimana
yang kita ketahui bersama tentang penyataan di dalam permendiknas tentang 18
poin pendidikan karakter tersebut, merupakan sebuah acuan serta pemembngan
terhadap nilai-karakter itu sendiri.
Sejauh observasi serta wawancara langsung dengan
tokoh masyarakat dihiang tentang hutan adat yang telah kami paparkan diatas,
merupakan pelajaran yang sangat penting untuk diangkat kepermukaan diranah
pendidikan karakter pada masa sekarang, yang sangat menarik bahwa tingkat
kesadaran masyarakat terhadap konservasi hutan serta kepedulian mereka terhadap
lingkungan mereka sepakati bersama dengan mengacu kepada peraturan serta hokum
adat yang telah bertahan sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka sangat
bersahabat dengan alam, mereka menjaga melestarikan dengan rasa tanggung jawab
serta kecintaan terhadap alam.
Pendidikan
karakter itu sendiri yang tumbuh dari berbagai sumber, serta berbagai proses
pembiasaan yang terusmenerus dilakukan. Slah satu nilai nilai karakter yang
sangat menonjol ialah karakter peduli
lingungan, serta cinta tanah air. Baiklah kami akan mencoba menarik
relevansinya pengelolaan hutan adat dengan pendidikan karakter dalam bentuk
table agar mudah kita pahami, sebagai berikut.
NO.
|
Bentuk Partisipasi
masyarakat dan Adat tentang hutan adat hiang
|
Nilai
karakter yang terkandung.[11]
|
Keterangan
|
1
|
Mematuhi
aturan adat serta aturan hukum nasional tentang hutan adat.
|
Disiplin:
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan
Semangat kebangsaan:
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
|
Masyarakat
|
2.
|
Menjaga Serta Melestarikan Hutan Adat
|
Peduli Lingkungan:
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
Cinta Tanah Air:
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa
|
Masyarakat Lemabaga adat
|
3
|
Aturan adat
telah mengakar sejak lama serta konsisten menjalankan, sehingga menimbulkan kesadaran
serta tanpa paksaan.
|
Peduli Sosial:
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
Demokratis:
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
|
|
4
|
Dan sebagainya
|
|
|
Pernyataan
diatas bukanlah pernyataan yang baku yang penulis mencoba menelaahnya, masih
banyak lagi yang lain mungkin dapat menambah kazanah kita tentang pendidikan karakter,
namun yang terpenting ialah dengan kearifan local yang unik dimiliki masyarakat
kerinci pada umunya, khususnya masrakat hiang tentang pelestarian hutan adat
tersebut, menjadikan kita bahkan masyarakat luar mencontohi tentang menjaga
serta melestarikan hutan adat tersebut. Sebab pendidikan karakter yang kita
kenal sekarang pada dasarnya di masyarakat tradisonal sudah melekat semenjak
ribuan tahun yang lalu, yang perlu kita jaga dan munculkan kepermukaan tentang
kearifan lokal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranl Karim
Mustika, Dodi, 2017, Hutan Adat Alam Kerinci
http://kerinciinspirasi.blogspot.co.id/2016/02/hutan-adat-alam-kerinci.html.
Salahhudin, Anas
dan Irwanto, 2013, Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan
Budaya Bangsa,(Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 98
KBBI Online, https://kbbi.web.id/hutan, Diakses tanggal:
29 September 2017.
Afan, Lingkungan Hidup, http://afand.abatasa.com/post/detail/2405/linkungan-hidup-kerusakan-lingkungan-pengertian-kerusakan-lingkungan-dan-pelestarian.
Rudini, Tokoh Masrakat, Wawancara, Tanggal 26 September 2017.
Basri
Dayah, Tokoh Adat, Wawancara, Tanggal
26 September 2017.
Nazaruddin Said, Tokoh Adat, Wawancara, Tanggal 27 September 2017
Candra
Purnama, Tokoh Adat, Wawancara, Tanggal 28 September 2017
Pemerintah
Republik Indonesia, 2010, Kebijakan Nasional Pembangunan
Karater Bangsa, Tahun 2015-2025, Jakarta.
Tim Kreatif LKM UNJ, 2011, Restorasi Pendidikan Indonesia; Menuju Masyarakat
Terdidik Berbasis Budaya, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
DAFTAR ISI
A.
Pendahulua
1.
Latar
Belakang Masalah.................................................................1
2.
Rumusan
Masalah..........................................................................2
3.
Batasan
Masalah............................................................................2
B.
Pembahasan
1.
Kebijakan
Pendidikan Karakter Zaman Belanda...........................3
2.
Kebijakan
Pendidikan karakter Zaman Jepang..............................3
3.
Kebijakan
Pendidikan karakter Zaman Kemerdekaan.................11
a.
UU
No 4 tahun 1950...............................................................11
b.
UU
No 12 Tahun 1954.......................................................... 12
c.
UU
No 2tahun 1989................................................................13
d.
UU
Sisdiknas no 20 Tahun 2003 ...........................................15
C.
Kesimpulan
D.
Daftar
Bacaan
[1] Undang-undang RI, tentang Pasal 1 ayat 6,Hutan Adat.
[2] Dodi Mustika, Hutan Adat Alam Kerinci
http://kerinciinspirasi.blogspot.co.id/2016/02/
hutan-adat-alam-kerinci.html
, (Dikases Tanggal: 29 September 2017).
[3] Anas Salahhudin dan Irwanto, Pendidikan
Karakter Berbasis Agama dan Budaya Bangsa,(Bandung: Pustaka Setia, 2013),
h. 98
[4] KBBI Online, https://kbbi.web.id/hutan, Diakses
tanggal: 29 September 2017.
[5] Ibid.
[6] Afan, Lingkungan Hidup, http://afand.abatasa.com/post/detail/2405/linkungan-hidup-kerusakan-lingkungan-pengertian-kerusakan-lingkungan-dan-pelestarian. (diakses Tanggal: 30 September 2017.
[8]Basri Dayah, Tokoh Adat, Wawancara, Tanggal 26 September 2017.
[9] Nazaruddin Said, Wawancara, Tanggal 27 September 2017
[10] Candra Purnama, Wawancara, Tanggal 28 September 2017
[11] Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan
Nasional Pembangunan Karater Bangsa, Tahun 2015-2025, ( Jakarta :
t.p, 2010), h. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar